Berani Hadapi Stres, Yuk!

Melalui artikel ini, saya ingin mengajak Anda untuk mengubah pandangan dan sikap kita saat menghadapi stres. Sederhananya, saya mengajak Anda untuk memberi makna baru pada “stres”, sehingga stres bukan lagi suatu hambatan.

Sumber gambar: tinybuddha.com

Kita tahu, stres telah menjadi bagian hidup yang sulit untuk dielakkan. Kupriyanov dan Zhdanov, dua orang peneliti asal Rusia menyatakan bahwa stres yang ada saat ini adalah sebuah atribut kehidupan modern. Semua orang dari berbagai usia, pekerjaan, maupun berbagai latar belakang pasti pernah mengalaminya.

Dilansir dari BBC Science, setiap orang sebenarnya membutuhkan stres dalam jumlah yang cukup agar dapat menjalani hidup dengan baik. Inilah yang membuat kita bangun tidur setiap pagi dan memotivasi kita bekerja sepanjang hari. Namun begitu, stres menjadi problematik ketika stres tersebut terlalu banyak atau terlalu sedikit. Stres bisa berdampak pada perasaan, pikiran, perilaku kita, dan bagaimana tubuh kita bekerja, karena pikiran dan tubuh kita terus-menerus berinteraksi.

Sumber gambar: empoweringevents.com.au

Kali ini, saya akan membahas cara menghadapi stres jika stres tersebut terlalu banyak dan dikhawatirkan bisa mengancam kesehatan fisik dan psikologis.

Cara Menghadapi Stres

Pertama, ini berkaitan dengan cara pandang kita tentang stres itu sendiri. Seorang psikolog bernama Kelly McGonigal dalam bukunya yang berjudul The Upside of Stress, menuturkan:

“Cara terbaik menangani stres bukan dengan mengurangi atau menjauhinya, tetapi dengan cara memikirkan ulang (rethink) tentang stres yang terjadi dan menerimanya. Dengan memikirkan ulang dan menerima stres tersebut, kita bisa mengubah dampak yang mungkin timbul, mulai dari dampak pada kesehatan fisik dan emosional, hingga akhirnya bisa mendatangkan rasa puas terhadap pekerjaan dan rasa optimis dalam melihat masa depan.”

Steven C. Hayes, seorang profesor di bidang psikologi menjabarkan pemikirannya tentang bagaimana menyikapi stres, melalui 4 poin berikut ini:

1. Mengakui Stres

Kita perlu mengenali stres yang kita alami. Terlalu sering kita terjebak dalam pengalaman kita sendiri dan bahkan tidak menyadari kapan itu terjadi. Maka, perhatikanlah kapan biasanya stres muncul dan akui jika memang kita sedang mengalaminya.

2. Menerima Stres

Selanjutnya, ini adalah bagian yang sulit, biarkan diri kita merasakan stres. Jangan khawatir, ini tidak seperti yang kita takutkan.

Di mana kita bisa merasakan stres itu? Apa yang terjadi pada tubuh kita saat stres melanda?

Menerima stres berarti kita sedang menyiapkan proses untuk “memahami intinya”.

Mengapa kita sebaiknya menerima stres? Coba bayangkan, jika ada orang mengajak kita bicara, kita akan mendengarkannya kan? Kita tidak akan menutup telinga dan berlari menjauhinya kan? Maka, seperti itu juga saat kita menemui stres.

Sumber gambar: bbc.com

3. Temukan Hal Penting dalam Stres

Hal penting apa yang mendorong stres kita muncul? Mungkin kita sedang memikirkan keuangan keluarga, atau kita tertekan karena harus menyelesaikan kuliah dengan baik?

Ketika kita menyadari adanya poin penting yang mendorong terjadinya stres, maka kita akan fokus pada poin penting tersebut.  Dan itu bagus.

4. Membalikkan Penderitaan Menjadi Kualitas Positif

Lihatlah reaksi kita, apakah ada impuls negatif yang bersembunyi di baliknya? Apakah ada perasaan bersalah? Jika ada, balikkan impuls negatif itu menjadi positif.

Berhentilah menindas diri sendiri! Sebaliknya, jadikan stres menjadi semangat untuk melahirkan kualitas positif dari diri kita, dan wujudkan menjadi tindakan-tindakan yang positif juga.

Saat kita memikirkan keuangan keluarga, itu karena kita mencintai keluarga kita. Cinta adalah sesuatu yang harus ditekankan dalam hidup, tetapi bukan untuk menjadikan kita tertekan. Kita hanya berada dalam sebuah permainan yang menantang, di mana kita mendapatkan tugas yang luar biasa, meskipun sulit, tapi kita telah berjuang melakukan yang terbaik sebagai pencari nafkah.

Demikian pula saat kita berupaya menyelesaikan kuliah dengan baik. Kita akan belajar dan berusaha mengerjakan tugas-tugas dengan sebaik mungkin untuk menghindari kegagalan dan memperoleh nilai yang baik. Itu sesuatu yang bagus, bukan? Hidup kita “menekankan” kepada kita betapa pentingnya belajar, dan itu mendorong kita untuk melakukannya dengan sepenuh hati.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa ketika kita menghadapi tantangan hidup, kita dapat menemukan makna dan tujuan positif yang terkandung di dalamnya. Dengan begitu, pengalaman stres tersebut dapat kita ubah dari yang semula sebuah beban dan membuat kita ingin menghindarinya, menjadi sebuah jalan terang bagi pertumbuhan diri kita.

Sumber gambar: popsugar.com

Stres sebenarnya adalah tanda bahwa hidup sedang mengajak kita untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih besar daripada diri kita saat ini.

Sewaktu kita merasa tertekan, ingatlah, daripada kita memandangnya sebagai hambatan, lebih baik jadikan itu bukti bahwa kita sedang bertumbuh menjadi manusia yang lebih hebat dan siap menerima “sesuatu” yang lebih gemilang lagi setelahnya.

Salam hangat,

Bintang Stania.

Hambatan UMKM dalam Mengadopsi E-Commerce

Sumber gambar: noisiamofuturo.it

Pada tahun 2017, sebanyak 3,79 juta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia telah memanfaatkan platform online untuk memasarkan produknya. Sayangnya, jumlah ini hanya berkisar 8% dari total 59,2 juta pelaku UMKM yang ada di Indonesia. Data ini dipaparkan melalui website Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Pemerintah sendiri memasang target untuk menjadikan 8 juta UMKM bisa go online pada tahun 2019. Menteri Kominfo, Rudiantara menegaskan, bahwa pelaku UMKM harusnya menjadi pemain utama dari perkembangan ekonomi digital di Indonesia.

Melihat fakta tersebut kita patut bertanya, sebetulnya apa kendala yang dihadapi oleh UMKM sehingga sebagian besar dari mereka belum mengadopsi e-commerce sampai saat ini?

Sebelum itu, Anda pun dapat membaca tulisan saya berjudul Pengetahuan Mendasar tentang UMKM Indonesia di sini.

Sumber gambar: img.okezone.com

Apa itu E-Commerce?

Sederhananya, dalam Bahasa Indonesia, electronic commerce atau e-commerce diterjemahkan menjadi perdagangan secara elektronik. Namun secara definisi, dilansir dari website Kementerian Keuangan, e-commerce adalah: “Segala bentuk transaksi bisnis yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.”

Seiring perkembangan waktu, definisi e-commerce pun menjadi lebih luas.  Saat ini, e-commerce diartikan tidak hanya penjualan dan pembelian melalui internet semata, tetapi juga mencakup pelayanan pelanggan online dan pertukaran dokumen bisnis.

Komponen Utama dalam E-Commerce

Yaser Ahangari Nanehkaran melalui ulasan literaturnya yang berjudul An Introduction To Electronic Commerce menyatakan, ada 3 komponen utama dalam e-commerce, yaitu sistem komunikasi, sistem manajemen data, dan keamanan. Dengan adanya ketiga komponen ini, e-commerce mampu mendukung hubungan perusahaan dengan pelanggan, mendukung penyediaan layanan dan komoditas, membagikan informasi bisnis, mengelola transaksi bisnis, dan mempertahankan ikatan di antara pemasok, pelanggan, dan vendor.

Sumber foto: 1.bp.blogspot.com

Riset mengenai Hambatan UMKM dalam Mengadopsi E-Commerce

Sebuah riset dilakukan oleh Mira Kartiwi, Robert MacGregor, dan Deborah Bunker dengan judul Electronic Commerce Adoption Barriers in Indonesian Small Medium-Sized Enterprises (SMEs): An Exploratory Study. Mereka melibatkan 43 pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang tidak menggunakan e-commerce, untuk berpartisipasi mengisi survey ini. Survey dilakukan di 7 lokasi di Indonesia, yaitu di Bandung, Sukabumi, Tasikmalaya, Denpasar, Kuta, Gianyar, dan DKI Jakarta.

Setelah dianalisa, ditemukanlah hambatan-hambatan yang menyebabkan pelaku UKM tersebut tidak memanfaatkan e-commerce untuk menjalankan bisnisnya. Seluruh hambatan dikelompokkan ke dalam 4 faktor yang berbeda, yaitu:

  1. E-commerce dianggap sulit untuk diimplementasikan
  2. E-commerce dianggap tidak cocok untuk bisnis
  3. Ketidaknyamanan dalam berkomunikasi dan memilih standar bisnis online yang cocok
  4. E-commerce tidak bisa diterapkan untuk kebutuhan bisnis sekarang ini

Berikut ini hambatan-hambatan yang sudah dikelompokkan sesuai dengan faktornya.

1.  E-commerce dianggap sulit untuk diimplementasikan

  • Tidak punya pengetahuan teknis di organisasi untuk mengimplementasikan e-commerce
  • E-commerce terlalu rumit untuk diimplementasikan
  • E-commerce dianggap tidak aman
  • Investasi finansial yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan e-commerce terlalu mahal
  • Tidak punya waktu untuk mengimplementasikan e-commerce

2.  E-commerce dianggap tidak cocok untuk bisnis

  • E-commerce tidak cocok untuk produk dan jasa mereka
  • E-commerce tidak cocok dengan cara mereka menjalankan bisnis
  • E-commerce tidak cocok dengan cara klien mereka menjalankan bisnis (klien tersebut adalah pelanggan dan pemasok)

3.  Ketidaknyamanan dalam berkomunikasi dan memilih standar bisnis online yang cocok

  • Sulit memilih standar e-commerce mana yang paling cocok di antara beragam pilihan yang tersedia
  • Hambatan bahasa. Banyak istilah Bahasa Inggris yang digunakan untuk mengoperasikan internet, sementara banyak pelaku UKM yang tidak menguasai Bahasa Inggris

4.  E-commerce tidak bisa diterapkan untuk kebutuhan bisnis sekarang ini

  • E-commerce dianggap tidak menawarkan keuntungan apapun bagi perusahaan mereka

Sumber gambar: actualidadecommerce.com

Penelitian lainnya dilakukan oleh Rajesri Govindaraju dan Dissa R. Chandra yang dituangkan dalam tulisan berjudul Analysis of Level and Barriers of E-Commerce Adoption by Indonesian Small, Medium, and Micro Enterprises (SMMEs).

Sebanyak 85 kuesioner diisi oleh responden yang menjalankan UMKM di bidang pengolahan non migas, perdagangan, dan restoran di Indonesia. Mayoritas responden bergerak di level usaha mikro (76,5%) dan bergelut di bidang perdagangan (68,2%).

Terdapat 3 hambatan yang secara signifikan dihadapi oleh responden untuk mengadopsi e-commerce, yaitu: manusia, dorongan paksa, dan sumber informasi.

1.  Manusia

Manusia adalah hambatan internal di dalam perusahaan atau organisasi. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan kualitas sumber daya manusia Indonesia menuntun ke arah rendahnya adopsi e-commerce di perusahaan mereka. Kualitas ini diukur berdasarkan:

  • Jumlah pegawai yang berpendidikan
  • Jumlah pegawai yang memiliki keahlian teknologi informasi yang memadai
  • Resistensi pegawai
  • Pengetahuan tentang manfaat dan cara mengimplementasikan e-commerce
  • Penyediaan waktu untuk belajar e-commerce
  • Cara organisasi menjalankan bisnis

Dari itu semua menandakan, bahwa cara UMKM Indonesia menjalankan bisnisnya sangat dibatasi oleh kualitas sumber daya manusia.

Solusi dari hambatan ini bisa datang dari UMKM itu sendiri dan dari pemerintah. Contoh solusinya adalah dengan merekrut pegawai di bagian teknologi informasi, memperbaiki keahlian para pegawai, dan mengadakan loka karya untuk para pegawai UMKM yang diselenggarakan oleh pemerintah.

2.  Dorongan Paksa

UMKM harusnya terdorong untuk menggunakan e-commerce bukan hanya karena adanya dukungan dari manajemen, tapi juga karena adanya ancaman dari kompetitor. Ketika manajemen tidak cukup memberi dukungan terhadap penggunaan e-commerce, maka peran dari pemilik UMKM sangat diperlukan untuk membuat keputusan.

Aspek lainnya adalah ancaman dari kompetitor atau dalam hal ini UMKN lain yang telah menggunakan e-commerce.  Dengan melihat kompetitornya memperoleh banyak manfaat dari penggunaan e-commerce, semestinya mendorong perusahaan tersebut untuk menggunakannya juga.

Namun pada kenyataannya, tidak banyak UMKM yang mengadopsi e-commerce di pasar Indonesia. Sehingga, penggunaan e-commerce oleh kompetitor belum dianggap sebagai ancaman.

3.  Sumber Informasi

Hasil penelitian ini menunjukkan masih banyak pelaku UMKM Indonesia yang belum memahami e-commerce. Mereka membutuhkan lebih banyak sumber informasi tentang hal ini. Informasi tersebut bisa bersumber dari vendor aplikasi e-commerce, dari konsultan teknologi informasi, dan dari media yang diatur oleh pemerintah untuk memberikan informasi kepada publik. Bila jumlah dan kualitas sumber informasi tersebut meningkat, maka hambatan UMKM Indonesia dalam mengadopsi e-commerce bisa berkurang. Dalam hal ini, peran pemerintah sebagai inisiator dan fasilitator sangat penting.

Sumber foto: cdn.dezzain.com

Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI) Yogyakarta juga sudah melakukan riset mengenai e-commerce yang dianggap belum ramah kepada pelaku UKM di Yogyakarta.

BPPKI Yogyakarta mengukur kebergunaan dan pengalaman pengguna dalam menggunakan Jogjaplaza.id (sebuah mall online untuk memasarkan produk-produk buatan UKM di Yogyakarta). Riset yang menggandeng Balai Bisnis Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini telah menelusuri lebih dari 100 UKM yang tersebar di DIY.

Sebuah fakta terungkap, bahwa pemasaran produk UKM dari DIY ini bisa mencapai daerah lain justru bukan melalui jalur e-commerce, melainkan melalui jalur offline, di antaranya dipasarkan lewat pameran, word of mouth, maupun peredaran kartu nama. Jalur offline inilah yang mendatangkan banyak keuntungan.

Para pelaku UKM bukannya tidak ingin melakukan perdagangan dan transaksi secara e-commerce. Infrastruktur pun tidak menjadi kendala. Lalu apa kendalanya? Ada dua kendala mendasar, yaitu:

  • Waktu. Selama ini waktu mereka habis untuk proses produksi, sehingga tidak ada waktu tersisa untuk mengurusi lini e-commerce
  • SDM. Mereka tidak memiliki SDM yang mumpuni dan belum mampu menggaji orang lain untuk mengurus e-commerce

Para pelaku UKM mengharapkan adanya sistem dan wadah yang memfasilitasi mereka dalam pemasaran e-commerce, di mana UKM tidak perlu terjun langsung menangani e-commerce, sehingga mereka dapat fokus pada kualitas produksi.

Ada pengecualian di wilayah DIY ini. UKM yang digerakkan oleh generasi muda dan baru merintis untuk mencari pasar, mereka biasanya sejak awal sudah memanfaatkan e-commerce untuk menjalankan bisnisnya.

Sumber gambar: azquotes.com

Itulah beberapa hasil penelitian yang mengungkapkan hambatan-hambatan yang dialami oleh pelaku UMKM dalam mengadopsi e-commerce. Bila disimpulkan dari semua hasil penelitian itu, terdapat 4 hambatan utama:

  1. Kurangnya SDM
  2. Keterbatasan finansial
  3. Keterbatasan waktu
  4. Kurangnya pengetahuan atau sumber informasi mengenai e-commerce

Dengan mempertimbangkan kendala-kendala tersebut, diharapkan adanya upaya khusus yang berkelanjutan, agar ke depannya semakin banyak pelaku UMKM yang dapat menggunakan e-commerce. Terlebih lagi adanya target pemerintah untuk menjadikan 8 juta UMKM go online pada tahun 2019 nanti, sepatutnya memacu para pemangku kepentingan untuk bekerja sama mewujudkan target tersebut.

 

Salam,

Bintang Stania.

Pengetahuan Mendasar tentang UMKM Indonesia

Sumber foto: indoindians.com

Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di tanah air terus bertumbuh. Para pelaku UMKM baru pun senantiasa bermunculan dengan beragam produk, jasa, dan ide kreatif yang mereka hasilkan. Tak berlebihan jika UMKM di Indonesia diibaratkan layaknya “raksasa yang sedang tidur” karena jumlahnya yang sangat banyak, sehingga dinilai mempunyai kekuatan yang menjanjikan untuk berkontribusi terhadap perekonomian negara.

Namun, pada artikel ini, saya ingin kita kembali dulu kepada hal-hal elementer terkait UMKM di Indonesia. Boleh jadi di antara kita masih belum mengerti apa itu usaha mikro, kecil, dan menengah, apa saja perbedaannya, dan pengetahuan mendasar lainnya.

Sumber foto: beritadaerah.co.id

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 yang merupakan payung hukum bagi UMKM, diterangkan mengenai pengertian usaha mikro, kecil, dan menengah beserta perbedaan di antara ketiganya, tujuan berdirinya UMKM, dan tujuan pemberdayaan UMKM, seperti berikut ini.

Pengertian dan Perbedaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

  • Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
  • Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil. Kriteria usaha kecil yang dimaksud adalah:

  • Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
  • Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan. Kriteria usaha menengah adalah:

  • Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
  • Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

Sumber foto: static.republika.co.id

Tujuan Berdirinya UMKM

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan.

Tujuan Pemberdayaan UMKM

  • Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan;
  • Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan
  • Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Dilansir dari website Bank Indonesia, ada 9 jenis sektor ekonomi UMKM yang hingga saat ini menggerakkan ekonomi nasional.

Jenis-Jenis Sektor Ekonomi UMKM

  1. Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan
  2. Pertambangan dan penggalian
  3. Industri pengolahan
  4. Listrik, gas, dan air bersih
  5. Bangunan
  6. Perdagangan, hotel, dan restoran
  7. Pengangkutan dan komunikasi
  8. Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
  9. Jasa-jasa

Sumber foto: topindonesiaholidays.com

Jumlah UMKM dan Kontribusinya

Sesuai penuturan saya di awal, jumlah UMKM di Indonesia memang luar biasa besar, terutama pelaku usaha mikro dan kecil. Dilansir dari website Kementerian Koperasi dan UKM yang merujuk pada data BPS tahun 2015, total UMKM yang ada di Indonesia lebih dari 59,2 juta unit, yakni terdiri dari usaha mikro dan kecil sekitar 59.203.509 unit, dan usaha menengah sekitar 59.263 unit. Kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pun menunjukkan angka yang baik, yaitu sebesar 61,41%, sementara ekspor non migas UMKM berada di angka 15,73%.

Penyediaan Lapangan Kerja

Ihwal penyediaan lapangan kerja, menurut sumber yang sama, UMKM telah berhasil menyerap tenaga kerja sebesar 96,71% dari total tenaga kerja nasional. Ini mengindikasikan betapa pentingnya peran UMKM terhadap penyediaan lapangan kerja di tanah air.

Tingkat Pendidikan Pelaku UMKM

Sementara itu, bicara tentang tingkat pendidikan, data dari Kementerian Ristek dan Dikti tahun 2014 yang juga dikutip oleh website Kementerian Koperasi dan UKM, sebagian besar pelaku UMKM adalah masyarakat berpendidikan rendah (SMP ke bawah). Fakta ini memperlihatkan kepada kita, bahwa sektor UMKM telah menjadi sumber penghidupan yang dipilih oleh masyarakat kecil.

Rasio Wirausaha Indonesia

Walaupun sektor UMKM memberikan kabar yang menggembirakan, ternyata rasio wirausaha di Indonesia pada tahun 2014 baru 1,65%. Jika dibandingkan 4 negara lain, Malaysia (4,25%), Singapura (6,1%), China (10,25%), dan Amerika Serikat (11,71%) maka rasio wirausaha di Indonesia memang masih tergolong rendah.

Sumber foto: vibizmedia.com

Program Prioritas Nasional dan RKP

Mengingat potensi UMKM yang sebetulnya mampu ditingkatkan lagi dengan maksimal, pemerintah mencanangkan program prioritas nasional dan prioritas Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2018. Singkatnya seperti ini:

  1. Penanggulangan kemiskinan dengan peningkatan daya saing UMKM dan koperasi
  2. Pengembangan dunia usaha dan pariwisata dengan pengembangan ekspor barang dan jasa
  3. Pendidikan vokasi dengan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan dan kecakapan kerja
  4. Pengembangan wilayah dengan pengembangan ekonomi di daerah tertinggal, kawasan perbatasan negara, dan di daerah pascabencana

Itulah tadi beberapa hal elementer yang perlu kita ketahui terkait UMKM di Indonesia. Tentu kita punya impian, ke depannya UMKM tidak hanya bertambah dari segi kuantitas saja, tetapi dari segi kualitas pun bisa naik level. Sehingga, UMKM yang tadinya bergerak di lingkup lokal, diharapkan nanti mereka sanggup bersaing di lingkup nasional dan internasional. Serta masih banyak lagi ekspektasi kita untuk kemajuan UMKM Indonesia.

 

Salam,

Bintang Stania.

Dampak Positif dari Konflik di Tempat Kerja

Sumber foto: pixel.mk

Ketika mendengar kalimat “dampak positif dari konflik”, barangkali orang akan merasa heran, karena selama ini kata “konflik” biasa disandingkan dengan hal-hal yang merusak, bentrokan, menimbulkan permusuhan, dan meskipun berakhir dengan solusi yang baik, tetap saja menyisakan luka.

Pada artikel ini, saya tertarik membahas mengenai dampak positif dari konflik yang terjadi di tempat kerja. Pada awalnya mungkin terdengar aneh bahwa konflik terbukti memiliki sisi positif. Namun, berdasarkan beberapa sumber yang saya pelajari, dengan penanganan konflik yang tepat dan konstruktif, konflik justru bisa menghadirkan manfaat bagi karyawan dan organisasinya.

Sebelumnya, saya juga pernah menulis artikel berjudul Penyebab Konflik di Tempat Kerja yang bisa Anda baca di sini.

Sumber foto: s-i.huffpost.com

Pada tahun 2008, sebuah survey dilakukan oleh Psychometrics Canada dengan melibatkan 357 orang profesional di bidang sumber daya manusia sebagai responden. Sebanyak 87% responden melihat adanya manfaat yang dihasilkan oleh konflik di tempat kerja mereka.

Menurut hasil survey tersebut, manfaat yang diperoleh dari konflik adalah, setiap orang jadi dapat memahami orang lain dengan lebih baik (77%), bisa menghasilkan solusi yang lebih baik ketika menghadapi masalah dan tantangan (57%), memperbaiki hubungan kerja (54%), kinerja tim jadi lebih tinggi (40%), meningkatkan motivasi (31%), lahirnya inovasi besar atau ide baru di tempat kerja (21%).

Sumber gambar: img.picturequotes.com

Kari Boyle, seorang praktisi di bidang manajemen konflik dan fasilitator di Queen’s University Industrial Relations Centre, berpendapat, jika konflik ditempatkan di tempat yang “aman”, maka konflik berpotensi menghasilkan manfaat. Pendapat ini berdasarkan penelitian yang dia lakukan dan pengalamannya sendiri sewaktu menangani konflik.

Berikut ini manfaat konflik menurut Kari Boyle yang juga mendukung hasil survey dari Psychometrics Canada.

Dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi sebelumnya. Perselisihan yang sepele sekalipun mungkin berasal dari isu-isu mendasar yang tidak terselesaikan sebelumnya. Jika masalah ini tidak ditangani, maka akan cenderung memburuk dan bisa meledak di kemudian hari. Manajer yang bijaksana semestinya bisa melihat pola seperti ini dan melibatkan diri lebih awal untuk mencegah konflik menjadi lebih besar. Dengan ini pula dapat diidentifikasi praktik dan proses mana saja di tempat kerja yang perlu ditingkatkan atau diganti.

Menciptakan solusi yang lebih baik. Ide dan solusi yang terbaik akan mengalir melalui diskusi yang sehat dan melibatkan beragam perspektif. Memang, sudut pandang yang berbeda terkadang bisa menimbulkan gesekan. Terkadang satu atau dua suara cenderung mendominasi diskusi di tempat kerja, sehingga tidak memberi kesempatan bagi yang lain untuk mengungkapkan pandangannya sama sekali. 

Jika konflik bisa ditangani dengan cara-cara yang konstruktif, maka ketidaksepakatan justru akan dipandang sebagai bagian penting dari pemecahan masalah. Jika setiap orang merasa nyaman mengekspresikan pandangan mereka, akan lebih banyak gagasan yang dihasilkan. Perbedaan pendapat pun akan menjadi kesempatan untuk mengasah dan memperbaiki gagasan yang ada agar menjadi solusi yang bisa diterapkan.

Menciptakan hubungan, semangat kerja, dan komitmen yang lebih sehat. Konflik yang ditolak, dihindari atau ditangani secara tidak efektif dapat merugikan hubungan antar rekan kerja. Manusia dapat membentuk asumsi yang tidak akurat tentang niat orang lain dan akhirnya dapat merusak hubungan kerja. Di sisi lain, jika staf merasa nyaman mengemukakan kekhawatiran, keluhan, atau pandangan yang berbeda, lalu didengar dan dihargai oleh teman-teman dan manajemen mereka, maka hubungan mereka satu sama lain dan organisasi dapat diperkuat.

Produktivitas membaik. Kita lebih sering mendengar bahwa konflik membuat produktivitas menurun, tetapi ternyata bisa terjadi sebaliknya. Pada awalnya, mungkin akan ada investasi waktu dan energi untuk mempersiapkan individu dan tim untuk mengenali konflik dan terlibat dengan berbagai jenis konflik. Namun, konflik yang ditangani dengan baik akan membebaskan orang untuk lebih fokus pada pekerjaan mereka daripada ketegangan di kantor. Inilah yang akan menghasilkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas yang lebih tinggi.

Pertumbuhan pribadi dan mendapatkan wawasan baru. Situasi yang membingungkan saat konflik dapat membantu kita untuk belajar lebih banyak tentang diri kita dan tentang diri orang lain. Kita mungkin tidak selalu tampil sebagai “pribadi yang terbaik” saat berada di tengah diskusi yang memanas atau saat dihadapkan pada kritikan yang tajam. Namun, dalam setiap situasi ini, jika kita terbuka terhadapnya, maka kemungkinan besar ada wawasan penting tentang diri kita yang layak dipelajari. Ini adalah langkah awal untuk mengelola diri kita menjadi lebih baik di masa depan.

Sumber gambar: investorsinpeople.com

Dampak positif dari konflik juga diutarakan oleh Bernard Oladosu Omisore, Ph.D dan Ashimi Rashidat Abiodun melalui ulasan literatur yang mereka tulis, berjudul Organizational Conflicts: Causes, Effects and Remedies.

Berdasarkan ulasan literatur tersebut, ada beberapa tambahan dampak positif dari konflik, yaitu:

Memuaskan kebutuhan psikologis tertentu. Orang yang terlibat dalam konflik berkesempatan untuk menyalurkan kebutuhan psikologisnya, seperti kebutuhan untuk mendominasi, mendapat penghormatan, memuaskan ego, dan melepaskan dorongan agresif.

Memperbaiki komunikasi di masa depan. Konflik dapat membuat orang-orang yang tadinya berseberangan menjadi bersatu dan saling belajar memahami gaya komunikasi yang mereka sukai. Ini akan memudahkan mereka menyelesaikan konflik di masa depan.

Menambahkan variasi pada kehidupan organisasi seseorang. Jika suatu organisasi tidak pernah menghadapi masalah dan konflik, kehidupan akan terasa membosankan.

Menumbuhkan kreativitas. Konflik bisa menginspirasi para karyawan untuk melakukan brainstorming dan melihat masalah dari berbagai perspektif, sehingga memunculkan kreativitas dalam memecahkan masalah.

Sumber foto: payyourintern.com

Itulah tadi dampak positif yang dihasilkan dari konflik di tempat kerja. Ternyata konflik tidak selalu menciptakan efek yang buruk, pasti ada hikmah yang bisa kita ambil dan pelajari dari konflik.

Menurut Kari Boyle, konflik itu memang sulit. Tantangan yang terpenting adalah bagaimana menciptakan ruang bagi konflik untuk muncul dengan cara yang konstruktif. Apabila Anda sudah memiliki alat dan keterampilan untuk menggali banyak manfaat dari konflik, maka tidak usah takut menerima konflik. Namun, apabila Anda belum menguasai keterampilan tersebut, tidak ada salahnya Anda mempelajarinya melalui pelatihan untuk mendukung upaya Anda menangani konflik.

 

Salam,

Bintang Stania.

Penyebab Konflik di Tempat Kerja

Konflik tidak pernah diharapkan kedatangannya. Namun, terkadang konflik memang bisa terjadi dan sulit untuk dihindari, termasuk di tempat kerja, baik itu dengan atasan maupun dengan sesama rekan kerja. Kali ini, saya akan mengupas tentang penyebab konflik di tempat kerja berdasarkan beberapa hasil penelitian yang saya himpun.

tinju di tempat kerja

Sumber foto: pillowmintpartners.com

Sebelum itu, kita perlu memahami dulu, apa itu konflik?

Atif Masood Chaudhry dan Rehman Asif dalam tulisannya yang berjudul Organizational Conflict and Conflict Management: A Synthesis of Literature mengatakan, “Konflik dapat didefinisikan sebagai kerangka perilaku dan persepsi anggota-anggota organisasi yang berkaitan satu sama lain, dan dipicu (atau dipelihara) oleh perasaan ketidakcocokan dengan orang lain. Namun demikian, konflik belum tentu ditimbulkan karena perbedaan persepsi. Konflik juga bisa terjadi saat orang-orang memiliki persepsi dan tujuan yang sama, tetapi tidak sepakat mengenai cara atau sarana yang digunakan.”

Team Of 8 Blue People Holding Up Connected Pieces To A Colorful

Sumber gambar: crfactory.com

Sementara itu, Dr. Digvijaysinh Thakore menghubungkan munculnya konflik dengan kerja tim. Melalui tulisannya yang berjudul Conflict and Conflict Management, ia berpendapat, Konflik berarti ketidaksetujuan antara dua atau lebih individu atau kelompok, yang mana salah satu orang atau lebih berusaha agar pandangannya diterima. Selama organisasi tetap menerapkan kerja tim, maka konflik tidak dapat dihindari karena konflik memang aspek yang tak terelakkan dalam sebuah kerja tim.”

Dr. Digvijaysinh Thakore juga menegaskan bahwa konflik merupakan hasil dari perilaku yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kapan pun ada interaksi, maka konflik pun ada.

Timbulnya konflik tentu saja ada pemicunya. Berikut ini hasil penelitian mengenai penyebab konflik di tempat kerja.

Psychometrics Canada melakukan survey pada tahun 2008 dengan melibatkan 357 orang responden yang merupakan profesional di bidang sumber daya manusia dan bekerja di perusahaan-perusahaan di Kanada.

Berdasarkan hasil survey, 99% responden mengaku pernah menghadapi konflik di tempat kerja. Penyebab konflik yang paling umum adalah perang ego dan kepribadian yang bertentangan (86%), kepemimpinan yang buruk mulai dari pimpinan tertinggi perusahaan (73%), kurangnya kejujuran dan keterbukaan (67%), stres karena pekerjaan (64%), dan adanya nilai-nilai yang berbenturan (59%).

Sumber foto: rajajuliantoni.com

Sementara itu, dalam ulasan literatur yang ditulis oleh Bernard Oladosu Omisore, Ph.D dan Ashimi Rashidat Abiodun berjudul Organizational Conflicts: Causes, Effects and Remedies, dipaparkan bahwa konflik di organisasi disebabkan oleh faktor-faktor struktural, yaitu:

Spesialisasi

Para karyawan cenderung menjadi spesialis di bidangnya, dengan kemampuannya yang spesifik dan khusus. Apabila mayoritas karyawan di sebuah organisasi adalah spesialis, bisa mengarah pada konflik karena mereka memiliki pengetahuan yang sedikit mengenai tanggung jawab pekerjaan yang lain.

Contoh, seorang resepsionis di toko kamera mengatakan kamera dapat diperbaiki dalam waktu satu jam, padahal untuk memperbaikinya bisa memakan waktu sampai satu minggu. Ini karena resepsionis tersebut tidak tahu tentang pekerjaan teknisi. Situasi ini bisa menyebabkan konflik antara resepsionis dan teknisi.

Terbatasnya Sumber Daya untuk Digunakan Bersama

Dalam lingkungan kerja, kita kerap kali harus berbagi sumber daya. Setiap orang membutuhkan sumber daya yang sama dan gesekan bisa terjadi karena kita mengejar tujuan kita sendiri-sendiri. Semakin sedikit jumlah sumber daya tersebut, maka semakin besar peluang munculnya konflik. Sumber daya yang jumlahnya terbatas misalnya saja uang, persediaan fasilitas di kantor, manusia, ataupun informasi.

Umpamanya, sebuah perusahaan memasang komputer baru untuk keperluan administrasi dan penelitian. Pada awalnya memang tidak ada masalah, tetapi lama-kelamaan komputer itu semakin sering digunakan untuk kedua keperluan tersebut, sehingga akses untuk menggunakannya menjadi masalah dan akhirnya muncul konflik.

Perbedaan Tujuan

Sering kali konflik meningkat secara substansial saat beberapa departemen di organisasi punya tujuan yang berbeda atau tidak sesuai. Misalnya, pegawai di bagian sales ingin menjual komputer secepatnya, tetapi pegawai di bagian manufaktur tidak dapat memenuhi hal tesebut karena terkendala fasilitas di manufaktur, maka konflik bisa terjadi.

Saling Ketergantungan

Kemungkinan konflik cenderung meningkat seiring meningkatnya level saling ketergantungan dalam menyelesaikan tugas. Ketika seorang pegawai harus bergantung pada rekan kerjanya untuk menyelesaikan suatu tugas, maka jika terjadi kesalahan, dia akan mudah menyalahkan rekan kerjanya itu. Saling ketergantungan biasanya terjadi dalam satu tim yang terlibat dalam suatu proses kerja, sehingga untuk memperoleh hasilnya, setiap anggota harus bergantung pada kinerja anggota yang lain.

Relasi Kuasa

Dalam banyak perusahaan, ada ketegangan mendasar antara manajer dengan karyawan karena kebanyakan orang tidak suka diperintah. Dalam banyak organisasi, manajer punya hak istimewa (jam yang fleksibel, istirahat yang lebih panjang, telepon pribadi yang bebas digunakan). Setelah diamati, manajer yang sangat keras pada karyawan cenderung terlibat konflik dengan karyawannya. Terkadang orang dengan sengaja terlibat dalam konflik untuk menunjukkan kekuasaannya atau untuk meningkatkan statusnya dalam organisasi.

Peran dan Harapan

Setiap karyawan minimal memiliki satu peran dalam organisasi. Peran ini termasuk beberapa elemen seperti job title, uraian tugas, dan kesepakatan yang telah dibuat antara karyawan dan organisasi. Konflik manajer-bawahan bisa terjadi bila peran bawahan tidak jelas dan masing-masing pihak memiliki pemahaman yang berbeda mengenai peran tersebut.

Yuridiksi yang Ambigu

Ketika ada ketidakpastian dalam garis tanggung jawab, maka ambiguitas yuridiksi akan muncul. Karyawan cenderung tidak mau mengambil tanggung jawab yang tidak jelas dan tidak dia mengerti. Yuridiksi yang ambigu sering terjadi saat ada program yang baru diperkenalkan. Tujuan yang ambigu, yuridiksi, dan kriteria kinerja yang tidak jelas akan memicu konflik antara atasan dengan bawahan.

Business Conflict

Sumber foto: boardeffect.com

Ahmed Adamu Isa mendukung pemaparan Omiseore dan Abiodun mengenai faktor kurangnya sumber daya untuk dibagi bersama sebagai salah satu penyebab konflik di organisasi. Ini tertuang dalam tulisannya yang berjudul Conflicts in Organizations: Causes and Consequences. Ia mengatakan, “Prinsip berbagi bersama sudah lama diketahui bisa menyelesaikan krisis di organisasi dan meningkatkan kinerja manajemen. Seharusnya organisasi memiliki kebijakan administratif tentang bagaimana membagi sumber daya yang tersedia secara lebih adil dan berkelanjutan untuk menghindari konflik di organisasi.”

Melalui tulisan tersebut pula diterangkan penyebab lain timbulnya konflik di tempat kerja, di antaranya:

Komunikasi yang Buruk

Komunikasi yang buruk adalah salah satu penyebab utama timbulnya konflik antar karyawan di tempat kerja. Perbedaan gaya komunikasi atau kegagalan dalam berkomunikasi biasanya akan menghasilkan konflik.

Sebagai contoh, seorang manajer mengalihkan tugas seorang karyawan kepada karyawan yang lain, tetapi manajer tersebut tidak mengkomunikasikan hal ini dengan baik kepada karyawannya, sehingga menimbulkan konflik. Ini bisa membuat karyawan merasa diremehkan dan bisa berubah menjadi permusuhan antara kedua karyawan dengan manajer.

Kegagalan dalam berkomunikasi bisa menyebabkan karyawan memiliki asumsi yang salah dan menyebarkan gosip di tempat kerja. Ini juga akan berakibat pada menurunnya produktivitas dan semangat kerja karyawan.

Perbedaan Kepribadian

Perbedaan kepribadian di antara karyawan bisa menyebabkan konflik di tempat kerja. Karyawan datang dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda, yang mana berperan terhadap pembentukan kepribadian. Saat para karyawan gagal memahami atau menerima perbedaan kepribadian karyawan lain, masalah pun akan muncul.

Umpamanya, seorang karyawan memiliki kepribadian berterus terang atau blak-blakan sehingga dia akan berbicara sesuai apa yang ada di pikirannya saat itu, meskipun waktunya tidak tepat. Karyawan seperti ini bisa menyinggung rekan kerjanya yang tidak memiliki kepribadian yang sama. Rekan kerjanya bisa menganggap karyawan tersebut telah bersikap kasar dan tidak punya kewenangan berbicara blak-blakan seperti itu kepadanya.

Stres

Stres merupakan perasaan seseorang yang terlalu banyak menerima tekanan mental dan emosional. Tekanan berubah menjadi stres ketika seseorang tidak sanggup mengatasi tekanan tersebut.

Setiap orang punya cara bereaksi yang berbeda saat menghadapi stres dan bisa saja situasi yang menyebabkan stres itu mempengaruhi orang lain juga. Stres dapat berdampak pada perasaan, pikiran, perilaku, dan bagaimana tubuh kita bekerja. Pada kenyataannya, tanda-tanda umum stres seperti masalah tidur, keringat berlebihan, hilangnya nafsu makan, dan sulit berkonsentrasi pada pekerjaan akan memicu konflik di antara karyawan.

Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual adalah perilaku yang tidak dikehendaki oleh korban. Pelecehan seksual tersebut meliputi permintaan bantuan seksual dan perilaku verbal atau fisik yang bersifat seksual. Segala perlakuan bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh korban disebut pelecehan seksual. Ini bisa menimbulkan konflik di organisasi jika tidak ada kode etik yang tepat di tempat kerja.

Sumber foto: potential.com

Dengan mengetahui penyebab umum terjadinya konflik di tempat kerja, setiap organisasi diharapkan mempunyai cara-cara yang efektif untuk mencegah timbulnya konflik serta mempunyai strategi untuk menyelesaikan konflik yang sudah terlanjur terjadi.

 

Salam,

Bintang Stania.

Multitasking Menghambat Produktivitas

Sumber gambar: hospitalitynet.org

Pernahkah Anda bertemu dengan seseorang yang terbiasa melakukan banyak hal dalam satu waktu? Kita mengenalnya dengan sebutan multitasking person. Tentu saja Anda mengira orang tersebut sangat hebat karena mampu berkonsentrasi pada banyak hal sekaligus. Namun, apakah betul dia benar-benar berkonsentrasi?

Istilah multitasking sendiri awalnya muncul di bidang sistem operasi komputer, artinya kemampuan komputer mengoperasikan beberapa program dalam waktu yang bersamaan. Setelah itu baru muncul istilah multitasking untuk manusia. Menurut Oxford Learner’s Dictionaries, multitasking pada manusia berarti kemampuan seseorang mengerjakan beberapa tugas dalam waktu bersamaan.

Mitos tentang Multitasking

Jim Taylor Ph.D dalam sebuah tulisannya yang dimuat di Psychology Today mengungkapkan, banyak orang bangga bisa melakukan multitasking dan beranggapan hal itu sebagai bagian penting dalam hidupnya. Padahal, apa yang selama ini kita kira sebagai multitasking, sebenarnya bukanlah multitasking, melainkan serial tasking. Apa itu serial tasking? Yaitu kemampuan beralih dari satu tugas ke tugas lainnya dengan cepat. Misalnya, kita beralih dari percakapan telepon ke layar komputer, lalu memeriksa email, lalu kembali lagi ke percakapan telepon dengan keyakinan bahwa kita melakukannya secara bersamaan. Padahal tidak. Kita melakukannya secara bergantian, bukan bersamaan.

Meskipun demikian, multitasking masih bisa dilakukan, tetapi hanya dalam 2 kondisi berikut:

  1. Setidaknya salah satu kegiatan sudah sangat dikuasai, sehingga tidak perlu lagi ada fokus atau tidak perlu lagi berpikir pada saat mengerjakannya. Misalnya, berjalan kaki sambil mengunyah permen karet.
  2. Kegiatan yang melibatkan pemrosesan otak yang berbeda. Misalnya, kita bisa membaca buku sambil mendengarkan musik instrumental di waktu yang bersamaan. Namun, itu tidak akan berhasil jika kita mendengarkan musik yang ada liriknya. Mengapa? Karena membaca buku dan mendengarkan musik yang ada liriknya sama-sama melibatkan pusat bahasa di otak. Sehingga, kita tidak dapat berkonsentrasi sepenuhnya pada buku yang kita baca.

Multitasking berkaitan dengan banyaknya prioritas. George McKeown, dalam bukunya yang berjudul Essentialsm: The Disciplined Pursuit of Less menjelaskan tentang sejarah kata “priority” atau prioritas yang telah berganti makna.

“Kata priority masuk ke dalam Bahasa Inggris tahun 1400an dan merupakan kata tunggal (singular). Artinya hal pertama. Kata ini tetap menjadi kata tunggal selama 500 tahun. Kemudian, di tahun 1900an barulah kata priority menjadi jamak, yaitu priorities. Artinya, ada banyak hal yang menjadi “hal pertama”. Ini memberikan kesan bahwa banyak hal yang diprioritaskan, tetapi sebetulnya tidak ada yang sungguh-sungguh menjadi prioritas.” kata George McKeown.

Apa akibatnya? Kita jadi bingung sendiri mana yang harus didahulukan dan diselesaikan segera, kebingungan itu akhirnya menghambat produktivitas.

Penelitian Mengungkapkan Multitasking Menghambat Produktivitas

Sumber gambar: powerofpositivity.com

Sudah banyak penelitian yang membahas kaitan antara multitasking dengan terhambatnya produktivitas.

American Psychological Association telah menghimpun beberapa hasil penelitian yang ditulis antara tahun 1994 sampai 2003. Dari semua hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa, meskipun terlihat efisien di permukaan, multitasking justru memperlambat penyelesaian tugas-tugas dan mengakibatkan banyak error atau kesalahan. Jika ini terjadi terus-menerus dapat berujung pada stres.

Saat seseorang mencoba untuk mengerjakan lebih dari satu tugas dalam satu waktu, sebetulnya pikiran dan otaknya tidak didesain untuk melakukan multitasking, terutama untuk tugas-tugas yang berat. Bahkan, sekalipun orang itu melakukan pergantian yang cepat dari tugas satu ke tugas lainnya, hal itu telah menghabiskan 40% dari waktu produktifnya.

Studi dari Stanford University juga mengungkapkan bahwa orang-orang yang terbiasa multitasking membuat mereka tidak mampu memelihara ingatan mereka sendiri dan merusak kontrol kognitif mereka dengan terbiasa mengerjakan banyak hal sekaligus.

Mereka kesulitan menyaring informasi yang tidak relevan dengan tujuan awal. Semua informasi yang ada di depannya langsung dilahap begitu saja. Sehingga, pekerjaan jadi lambat selesai.

Mereka juga tidak bisa berhenti memikirkan tugas yang belum dikerjakan, padahal pada waktu itu mereka sedang mengerjakan tugas yang lain. Mereka benar-benar tidak bisa memisahkan satu hal dengan hal lainnya di kepala mereka.

David Strayer, seorang profesor di bidang psikologi dari University of Utah percaya hanya ada 2% manusia di dunia ini yang kinerjanya tidak memburuk ketika mereka membagi perhatiannya kepada beberapa tugas dalam satu waktu. Itu pun yang mereka lakukan adalah serial tasking, bukan multitasking.

Kita sudah tahu mengerjakan banyak hal dalam waktu yang bersamaan itu ide yang buruk, tetapi kadang-kadang kita sulit menghentikan kebiasaan itu. Untuk menghentikannya, kita bisa mulai dengan fokus mengerjakan satu per satu tugas kita dan hindari gangguan. Tentukan prioritas utama yang harus diselesaikan dan tetaplah konsisten.

Adam Gorlick dari Standford University pernah mengatakan, “By doing less, you might accomplish more.”

 

Salam,

Bintang Stania.

Keuntungan Kerja Remote yang Menggiurkan

Bekerja sambil memakai piyama di rumah, atau sambil makan kudapan dalam toples, atau duduk menghadap taman bunga yang indah, itu bukanlah suatu hal yang mustahil. Setiap orang punya caranya masing-masing untuk dapat lebih fokus dan lebih bahagia saat bekerja. Dengan kerja remote, kita bisa mengatur sendiri lingkungan seperti apa yang bisa membuat kita lebih nyaman dalam menyelesaikan pekerjaan. Anda dapat membaca tulisan saya sebelumnya mengenai kerja remote di sini.

Tentu saja kerja remote dapat dilakukan dengan lancar dengan dukungan teknologi, misalnya alat komunikasi, keamanan penyimpanan data, dan cadangan data untuk mencegah hilangnya berkas-berkas yang penting.

Kerja remote pun memiliki beberapa keuntungan, baik bagi karyawan maupun bagi perusahaan. Keuntungan tersebut di antaranya:

Lebih Sehat

Sumber foto: ordyten.com

Studi dari Staples menunjukkan bahwa para karyawan yang bekerja dari rumah mengalami penurunan stres sebanyak 25%, bahkan 73% mengatakan mereka makan dengan lebih sehat jika bekerja dari rumah. Begitu pula studi dari PGi, sebuah layanan perangkat lunak terkemuka, memperlihatkan 82% karyawan mengaku stres mereka berkurang ketika bekerja dari rumah dan 80% menunjukkan peningkatan semangat kerja.

Lebih Produktif

Berdasarkan data dari SurePayroll, dari 2060 responden berusia di atas 18 tahun, 86% responden mengatakan mereka sangat produktif jika bekerja sendirian, dibandingkan jika bekerja dari kantor. Beberapa hal yang membuat mereka kurang produktif di kantor adalah rekan kerja yang berisik, rekan kerja yang mengajak ngobrol sehingga mengganggu kerja mereka, gosip yang datang silih berganti, dan lain sebagainya.

Penelitian yang dilakukan oleh The Canada Life Group pun menunjukkan pekerja remote menilai produktivitas mereka sebesar 7,7/10. Sementara itu, nilai produktivitas mereka saat bekerja dari kantor hanya sebesar 6.5/10.

Begitu pula hasil survey FlexJobs’ 6th Annual Super Survey tahun 2017, dari 5.551 responden di Amerika, terdapat 66% responden yang merasa lebih produktif jika bekerja remote.

Pengeluaran Berkurang

Sumber gambar: topfunny.ga

  • Bagi perusahaan

Dengan menerapkan kerja remote membuat biaya operasional perusahaan berkurang. Majalah Forbes memberi contoh dua perusahaan besar Amerika, yaitu Aetna dan American Express.

Aetna, sebuah grup penyedia perawatan kesehatan terbesar di Amerika mengemukakan, dari 35.000 karyawan, sebanyak 14.500 tidak memiliki meja kerja di kantor, mereka bekerja secara remote, sementara itu 2.000 karyawan bekerja dari rumah beberapa hari dalam sepekan, sehingga perusahaan dapat menghemat pengeluaran untuk real estate sekitar $78 juta dolar per tahun.

American Express, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang layanan global, melalui program BlueWork-nya juga telah menghemat biaya untuk real estate antara $10 – $15 juta dolar setiap tahun.

Sumber gambar: blog.fundinggates.com

  • Bagi karyawan

Mengurangi biaya transportasi. Dengan bekerja dari rumah, ongkos untuk transportasi berkurang, bisa menghemat bahan bakar kendaraan pribadi, dan menghemat biaya perbaikan kendaraan.

Selain itu, bekerja dari rumah bisa mengurangi biaya laundry dan dry cleaning, karena Anda tidak terlalu sering menggunakan pakaian-pakaian formal yang biasa Anda gunakan ke kantor.

Mengurangi biaya untuk makan. Ketika Anda bekerja dari kantor, Anda terbiasa membeli makanan yang sudah jadi. Namun, jika Anda bekerja dari rumah, Anda bisa memasak sendiri makanan Anda dan bisa lebih sehat.

Dampak Positif Bagi Lingkungan

Mengurangi polusi udara dan penggunaan bahan bakar fosil. Sebuah studi pada tahun 2013 mengungkapkan, adanya kontribusi dari para pekerja remote dalam mengurangi konsumsi bahan bakar tahunan di Amerika, yaitu sebanyak 680 juta galon atau sekitar 0,5% dari konsumsi bensin secara nasional.

Mengurangi penggunaan kertas. Dengan bekerja remote juga akan mengurangi jumlah kertas yang harus dicetak.

Akses Mendapatkan Talenta Global

Mempekerjakan pekerja remote tidak mengenal batas negara dan mendobrak batas area geografis. Perusahaan bisa mendapatkan talenta-talenta yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan walaupun orang tersebut tinggal di kota yang jauh atau di negara yang berbeda dengan perusahaan yang mempekerjakannya.

Orang Berusia Lanjut Tetap Bisa Bekerja

Sumber foto: nursingtimes.net

Menurut hasil survey AARP terhadap responden berusia di atas 65 tahun, sebesar 74% responden ingin jadwal kerja yang fleksibel dan 34% ingin bekerja dari rumah.

FlexJobs Super Survey tahun 2017 dengan 2.163 orang responden berusia di atas 50 tahun menunjukkan, hampir 70% responden telah bekerja secara remote. Sebanyak 83% responden tidak khawatir bekerja remote dapat mengancam prospek karir mereka di masa depan dan sebanyak 92% responden percaya bahwa bekerja remote membuat mereka menjadi orang tua dan karyawan yang baik. Begitu pun soal produktivitas, para responden berusia di atas 50 tahun itu pun merasa lebih produktif dengan bekerja remote seperti ini.

Dalam beberapa kasus juga terdapat orang berusia lanjut yang ingin menghabiskan masa tuanya di kota lain. Kerja remote bisa menjadi pilihan karena letak geografis tidak akan menjadi hambatan selama terhubung dengan internet dan telepon.

Mengurangi Pergantian Karyawan

Ketika ada karyawan yang mengundurkan diri, pensiun, atau dipecat, maka perusahaan akan mengadakan proses rekrutmen untuk mendapatkan karyawan baru. Namun, proses rekrutmen tentunya membutuhkan biaya yang cukup besar. Menurut studi kasus yang ditulis dalam 11 makalah penelitian, untuk melakukan rekrutmen karyawan baru, membutuhkan biaya kurang lebih sebesar 20% dari gaji per tahun yang diterima oleh karyawan sebelumnya. Belum lagi jika perusahaan harus memberikan pelatihan dan tambahan pendidikan bagi karyawan barunya, perusahaan harus mengeluarkan lebih banyak biaya lagi.

Studi yang dilakukan oleh Stanford University di Ctrip, sebuah agensi perjalanan China  yang tercatat di NASDAQ dengan 16.000 orang karyawan, menunjukkan bahwa dengan mempekerjakan karyawan secara remote terjadi penurunan pengurangan karyawan sebesar 50% dibandingkan sebelum menerapkan kerja remote.

Bisa Bekerja Saat Sakit

Menurut SurePayroll, karyawan yang bekerja secara remote tetap bekerja meskipun sedang sakit dan tidak akan menularkan penyakitnya pada karyawan lain. Mereka yang mengalami sakit parah atau sehabis dioperasi juga lebih cepat kembali bekerja jika bekerja secara remote.

Hasil penelitian oleh The Canada Life Group menunjukkan karyawan yang bekerja remote rata-rata mengajukan izin sakit selama 1,8 hari dalam setahun. Sementara itu, karyawan yang bekerja dari kantor rata-rata mengajukan izin sakit selama 3,1 hari dalam setahun.

Hubungan yang Lebih Baik dengan Keluarga dan Tetangga

Sumber foto: s-i.huffpost.com

Studi dari Staples Advantage memperlihatkan bahwa 80% pekerja remote memiliki hidup yang lebih seimbang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Orang-orang yang bekerja secara remote, tidak perlu menghabiskan waktu dalam kemacetan di jalan raya terutama saat jam-jam sibuk, lalu pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Mereka bisa lebih fleksibel mengatur waktu untuk berkumpul bersama keluarga dan bertemu dengan para tetangga. Suatu hal yang bermanfaat, bukan?

 

Salam,

Bintang Stania.

Kerja Remote yang Kekinian dan Produktivitasnya

Bagi sebagian perusahaan dan karyawan, bekerja tidak harus selalu dilakukan dari kantor. Bekerja bisa dilakukan di mana saja, asalkan karyawan tersebut tetap bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaannya sesuai waktu dan target yang telah ditetapkan. Itulah sekilas gambaran mengenai kerja remote.

Istilah kerja remote sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu remote working. Menurut Cambridge Dictionary, remote working berarti situasi di mana karyawan lebih banyak bekerja dari rumah dan berkomunikasi dengan perusahaan melalui email dan telepon. Untuk tren masa kini, kerja remote juga dilakukan dari berbagai tempat, tidak selalu dari rumah, tapi bisa juga di kafe, di taman, atau di mana saja di luar kantor.

Sumber foto: videoblocks.com

Saat ini, kerja remote semakin menjadi pilihan bagi karyawan, karena menurut penelitian, kerja remote justru dapat meningkatkan produktivitas. Menurut hasil survey FlexJobs’ 6th Annual Super Survey tahun 2017 yang melibatkan 5.551 responden di Amerika, terdapat 66% responden yang merasa lebih produktif jika bekerja secara remote. Ada beberapa alasan utama yang diungkapkan oleh responden, sebanyak 76% mengatakan dengan kerja remote mereka mendapat lebih sedikit gangguan dari rekan kerja mereka, 70% mengatakan stres selama perjalanan pulang-pergi ke kantor berkurang, dan 69% mengatakan meminimalisasi politik di kantor.

Selain itu, ada faktor-faktor terpenting yang menjadi pertimbangan mereka dalam memilih kerja remote. Sebanyak 72% menyebut faktor keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, sementara 69% menyebut jadwal kerja dan gaji yang fleksibel yang menjadi pertimbangan mereka. Lalu, siapakah yang paling tertarik bekerja remote? Sebanyak 35% adalah orang tua yang memiliki anak, 26% adalah pekerja freelance, dan 23% merupakan introvert.

Bekerja secara fleksibel seperti ini juga diklaim dapat mempengaruhi kesehatan dan kualitas hidup. Sebanyak 78% responden mengatakan bekerja secara fleksibel membuat mereka lebih sehat (makan lebih baik, berolahraga lebih banyak, dan lain-lain) dan 86% responden mengatakan stres mereka berkurang. Begitu pun terkait kualitas hidup, 45% responden mengatakan bekerja secara fleksibel membuat kualitas hidup mereka jauh lebih baik secara keseluruhan dan 52% mengatakan memperoleh dampak yang positif.

Bagaimana, apakah Anda tertarik menjadi pekerja remote? Atau bagi Anda pemilik maupun pembuat kebijakan di perusahaan, apakah Anda tertarik menerapkan budaya kerja remote di perusahaan Anda? Tentu saja, itu semua kembali kepada kebutuhan masing-masing perusahaan.

 

Salam,

Bintang Stania.